Dari tepi sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari diam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.
Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.
“Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan Ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.”
“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orangtuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”
“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dahulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
Dari Rajagaha pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara-Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut pertapa Gotama) berguru kepada Alara-Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.
Di tempat ini pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir.
Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut.
Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.
Dari Uddaka-Ramaputta pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaaan “Bukan-Pencerapan” juga bukan “Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.
Tetapi pertapa Gotama masih belum puas, sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati.
Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji dan Kondanna) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil maka pertapa Gotama lalu malakukan latihan yang lebih berat lagi.
Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur ke luar dari ketiak-ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sedikit menahan napasnya sampai napasnya tidak lagi ke luar melalui hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.
Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kalau perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya berubah menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.
Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat, bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.
Pertama :
“Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.”
Kedua :
“Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.”
Ketiga :
“Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini pasti dapat membuat api dari menggosok kedua kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.”
Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut, maka pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.
Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali, karena dengan berhenti berpuasa pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke taman rusa di Benares.
Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang di antaranya bernyanyi dengan syair sebagai berikut :
“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”
Mendengar nyanyian itu pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata :
“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali penghidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendor.”
Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon di mana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan : “Oh, nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan nyonya.”
Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu, bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.
Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara pertapa Gotama dan Sujata seperti di bawah ini :
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah cetusan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah :
“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi, adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah penghidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”
“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak maka hatiku dengan mudah mandapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi sajen kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan; apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?”
“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari dari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaiman engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.”
Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi sungai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan berkata : “Kalau memang waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.”