Visakha dilahirkan di kota Bhaddiya, negara Anga, yang terletak di sebelah timur Magadha. Ayahnya bernama Dhanajaya, putra dari Mendaka, dan ibunya bernama Sumana. Waktu Visakha berusia tujuh tahun, Sang Buddha mengunjungi kota Bhaddiya. Waktu itu Mendaka minta Visakha mengunjungi Sang Buddha dan diberi lima ratus orang pengikut, lima ratus orang budak dengan memakai lima ratus kereta.
Tiba di tempat yang dituju, mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan Visakha memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapana. Visakha kemudian mengundang Sang Buddha beserta murid-Nya untuk makan siang keesokan harinya di rumah kakeknya.
Selama empat belas hari berikutnya, Mendaka menjamu Sang Buddha beserta rombongan di rumahnya.
Dikisahkan bahwa Raja Pasenadi dari negara Kosala ingin sekali mempunyai seorang yang banyak jasanya tinggal di kerajaannya. Beliau mengirimkan permohonan kepada Raja Bimbisara, yang waktu itu memerintah kerajaan Magadha dan Anga untuk mencarikan seorang yang banyak jasanya untuk tinggal di kerajaannya. Untuk memenuhi permohonan Raja Pasenadi, Raja Bimbisara lalu memilih Dhanajaya, ayah Visakha, untuk pindah ke Savatthi.
Dalam perjalanan menuju ke Savatthi, Dhanajaya berhenti di satu tempat yang berada tujuh “League” dari Savatthi (1 league = 4.800 atau 5.564 m). Melihat bahwa tempat itu menyenangkan sekali, ia mohon kepada Raja Pasenadi untuk membuat tempat tinggal di tempat tersebut. Permohonan itu dikabulkan dan Dhanajaya membuat rumah di tempat tersebut, yang kemudian berkembang menjadi kota yang dinamakan Saketa. Visakha juga ikut tinggal bersama kedua orangtuanya di Saketa.
Pada suatu hari di Saketa diadakan perayaan dan semua orang pergi ke sungai untuk mandi. Visakha, yang waktu itu berumur lima belas tahun, berdandan dan memakai baju yang bagus. ia ingin turut menyaksikan perayaan tersebut dan bersama kawan-kawannya ia pergi ke tepi sungai.
Tiba-tiba hujan besar turun dan semua gadis kawan Visakha berlari mencari tempat untuk berteduh di sebuah bangsal. Hanya Visakha yang tidak turut berlari dan jalan saja seperti biasa. Tiba di bangsal, bajunya basah kuyup.
Di bangsal itu juga turut berteduh beberapa orang suruhan Migara, seorang jutawan dari Savatthi, yang mencari seorang gadis untuk dinikahkan dengan anaknya, Panavaddhana. Mereka heran melihat Visakha dengan tenang berjalan memasuki bangsal, meskipun bajunya basah kuyup dengan air hujan. Mereka bertanya, “Mengapa engkau tadi tidak lari, sekarang bajumu basah kuyup.”
Visakha menjawab, “Aku punya banyak baju di rumah. Kalau aku lari, mungkin aku terjatuh dan cedera anggota tubuhku. Hal ini akan membawa kerugian besar bagiku. Gadis sepertiku dapat diumpamakan sebagai barang dagangan yang tidak boleh mempunyai cacat.”
Jawaban Visakha ternyata mengesankan sekali orang suruhan Migara. Tambahan lagi, Visakha memang seorang gadis cantik yang memiliki Lima Kecantikan (Panca-Kalyani).
Mereka segera menyerahkan sebuah karangan bunga sebagai tanda pinangan untuk menikah. Visakha menerima baik karangan bunga tersebut dan orang suruhan Migara mengikuti Visakha pulang ke rumah orangtuanya. Oleh kedua orangtuanya, pinangan ini pun diterima dengan baik.
Sekarang harus dibuat persiapan untuk merayakan pernikahan Visakha. Raja Pasenadi sendiri berkenan untuk ikut dengan rombongan yang menyertai mempelai laki-laki pergi ke Saketa. Di tempat itu mereka berdiam selama empat bulan. Selama waktu itu, lima ratus pandai emas bekerja siang dan malam untuk membuat perhiasan yang dinamakan Mahalatapasadhana. Perhiasan itu terbuat dari emas dan ditabur dengan berlian, mutiara dan batu-batu permata lainnya. Perhiasan ini berat sekali dan hanya bisa dipakai oleh orang yang tenaganya kuat.
Pada hari pernikahan, Dhanajaya membekali putrinya dengan lima ratus pedati penuh dengan uang, lima ratus pedati penuh dengan emas, perak, tembaga, kain sutra, mentega, beras dan kacang-kacangan masing-masing lima ratus pedati. Alat meluku dan alat pertanian lainnya lima ratus pedati, lima ratus kereta dengan membawa tiga orang budak wanita tiap-tiap kereta disertai segala keparluan mereka. Di samping itu, juga ternak yang memenuhi lapangan seluas tiga per empat “league” panjangnya dan delapan “cambuk” lebarnya, yang berdiri berhimpit-himpitan ditambah dengan enam puluh ribu sapi jantan dan enam puluh ribu sapi perah. Masih ditambah lagi dengan perhiasan Mahalatapasadhana yang mahal sekali dengan disertai sepuluh pesan yang harus ditaati oleh Visakha selama berada di rumah suaminya.
Sepuluh pesan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Api dari dalam rumah tidak boleh dibawa ke luar rumah.2. Api dari luar rumah tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah.
3. Hanya memberi kepada orang yang memberi.
4. Tidak memberi kepada orang yang tidak memberi.
5. Memberi kepada orang yang memberi dan juga kepada orang yang tidak memberi.
6. Kalau duduk, duduklah dengan tenang dan bahagia.
7. Kalau makan, makanlah dengan tenang dan bahagia.
8. Kalau tidur, tidurlah dengan tenang dan bahagia.
9. Harus menjaga baik api di rumah.
10. Harus menghormat dewa-dewa di rumah.
Selanjutnya Dhanajaya mengangkat delapan orang kepala keluarga yang terhormat untuk menjadi wali Visakha dan meneliti tiap dakwaan yang kelak mungkin akan dituduhkan terhadap tingkah laku anaknya.
Keesokan harinya Visakha beserta rombongan berangkat menuju ke Savatthi. Semua penduduk Savatthi keluar dari rumahnya untuk menyambut kedatangan Visakha dan mempersembahkan aneka ragam hadiah. Semua hadiah diterima baik oleh Visakha untuk kemudian dibagi-bagikan lagi kepada penduduk Savatthi yang kurang mampu.
Migara (mertua Visakha) adalah pengikut para pertapa Nigantha, yaitu pertapa yang hidup bertelanjang bulat. Tidak lama setelah Visakha berada di rumahnya, Migara mengundang para pertapa Nigantha datang ke rumahnya dan memerintahkan Visakha untuk melayaninya dengan baik Tetapi Visakha, yang jijik melihat mereka bertelanjang bulat, menolak untuk memberi hormat. Para pertapa Nigantha mendesak Migara untuk mengirim pulang Visakha, tetapi Migara ingin menunggu saat yang tepat.
Pada suatu hari, ketika Migara sedang makan dan Visakha berdiri di sampingnya sambil mengipasnya, seorang bhikkhu datang untuk mengumpulkan makanan dan berdiri di depan pintu. Visakha minggir sedikit agar Migara dapat melihat bhikkhu tersebut, tetapi Migara tidak memperdulikannya dan terus saja makan. Visakha kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut, “Jalan terus saja, Bhante, mertua saya sedang makan hidangan basi.”
Migara marah sekali dan mengancam untuk mengirim pulang Visakha ke rumah orangtuanya. Tetapi Visakha minta agar persoalan itu dibawa ke depan para walinya. Di hadapan para wali tersebut, Migara melontarkan beberapa dakwaan terhadap Visakha. Tetapi, setelah para wali meneliti dan mendengar segala keterangan dari yang bersangkutan dan para saksi, mereka berkesimpulan bahwa Visakha tidak bersalah.
Setelah itu, Visakha memberi perintah untuk membuat persiapan pulang ke rumah orangtuanya di Saketa. Tetapi kemudian Migara melihat kesalahannya dan merasa menyesal. Ia mohon maaf kepada Visakha dan permohonan ini diterima oleh Visakha dengan syarat, Migara harus mengundang Sang Buddha dan murid-Nya makan siang di rumahnya.
Waktu Sang Buddha dan para murid-Nya tiba, Migara lalu menyingkir pergi dan memerintahkan Visakha untuk melayani-Nya. Setelah selesai bersantap, Sang Buddha memberikan uraian Dhamma dan atas permintaan Visakha, Migara turut mendengarkan dari belakang tirai. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Migara memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapana. Oleh karena itu ia memperoleh tingkat Sotapana atas jasa Visakha, maka mulai hari itu ia menghormat Visakha sebagai ibunya dan mulai hari itu Visakha memperoleh nama baru, yaitu :”Migaramata” yang berarti “Ibu Migara”.
Sekarang Visakha bebas untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagaimana yang ia kehendaki. Setiap hari ia memberi makan kepada lima ratus orang bhikkhu.
Setiap sore ia datang ke vihara mengunjungi Sang Buddha dan setelah mendengarkan uraian Dhamma, pergi berkeliling dan mendatangi para bhikkhu dan bhikkhuni untuk menanyakan kebutuhannya.
Sewaktu-waktu ia diutus oleh Sang Buddha untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan yang timbul di antara para bhikkhuni. Beberapa aturan, seperti aturan yang mengharuskan para bhikkhuni memakai “baju mandi” kalau mandi, dikeluarkan atas saran Visakha.
Suatu hari Visakha mengunjungi Sang Buddha dan sebelum memasuki vihara ia membuka perhiasan Mahalatapasadhana yang dipakainya. Waktu pulang, pelayannya lupa untuk membawanya. Belakangan, waktu Visakha kembali untuk mengambilnya ternyata bahwa Ananda telah menyimpannya di ruang dalam. Visakha menolak untuk mengambilnya kembali, tetapi memerintahkan untuk menjualnya dan hasilnya digunakan untuk keperluan para bhikkhu. Tetapi, ternyata tidak ada orang yang mampu membelinya karena perhiasan itu memang sangat mahal harganya. Karena itu Visakha mengambil keputusan untuk membelinya sendiri dan uangnya digunakan untuk membuat sebuah vihara yang disebut Migaramatupasada di taman sebelah timur (Pubbarama) Savatthi.
Selama dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan Sang Buddha, kalau sedang berada di Savatthi, Beliau membagi waktu-Nya antara Jetavana dan Pubbarama, kalau siangnya berada di Jetavana, malamnya Beliau diam di Pubbarama atau sebaliknya.
Visakha mohon dan diberikan delapan “anugerah” oleh Sang Buddha, yaitu :
1. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberikan jubah kepada para bhikkhu yang selesai ber-vassa.2. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang datang ke Savatthi.
3. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada para bhikkhu yang pergi dari Savatthi.
4. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang sakit.
5. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada mereka yang menjaga bhikkhu yang sakit.
6. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi obat kepada bhikkhu yang sakit.
7. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi beras untuk keperluan mendadak.
8. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi baju mandi kepada para bhikkhuni.
Visakha mempunyai sepuluh orang putra dan sepuluh orang putri, tiap putra dan putri kembali mempunyai dua puluh orang anak dan tiap cucunya kembali mempunyai dua puluh orang anak. Waktu Visakha meninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun, Beliau mempunyai delapan ribu empat ratus dua puluh orang anak, cucu, dan cicit yang semuanya hidup. Meskipun sudah berusia lanjut, tetapi roman mukanya masih seperti gadis berumur enam belas tahun.
Visakha sangat terkenal sebagai orang yang dapat membawa keberuntungan. Oleh karena itu, penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha kalau mereka mengadakan pesta atau perayaan lain. Dengan sikapnya yang luhur, tingkah laku yang halus, ucapan yang ramah, menghormat kepada orang yang lebih tua dan kebaikan hatinya kepada semua orang, Visakha mendapat tempat yang mulia dalam hati mereka yang pernah mengenalnya.
Sebagaimana halnya dengan Anathapindika, Visakha pun mendapat gelar “Pemimpin dari para Dayika”. Dayika adalah seorang wanita yang menjadi penyokong Sang Buddha. Visakha diperkirakan lebih muda sedikit dari Anathapindika, karena adik perempuannya yang bungsu, Sujata, menikah dengan anak laki-laki dari Anathapindika, yaitu Kala.
Setelah meninggal dunia, Visakha bertumimbal lahir di surga Nimmanarati dan menjadi pelayan dari Raja Dewa Sunimmita.(Menurut Boddhaghosa, Visakha dan Anathapindika akan menikmati hidup bahagia di alam surga selama seratus tiga puluh satu kappa, sebelum akhirnya mereka mencapai Nibbana).