Setelah Sang Buddha beserta rombongan selesai makan di tengah hari, berduyun-duyun orang, yang dulu pernah mengenal Pangeran Siddhattha, datang menemuinya untuk sekedar berbincang-bincang dan memberi hormat. Mereka semua merasa gembira sekali dapat bertemu lagi dengan Sang Pangeran, yang sekarang sudah menjadi Buddha, dihormati, dicintai, dan dipuja oleh demikian banyak orang.
Tetapi Yasodhara berada di kamarnya dan berpikir, “Pangeran Siddhattha sekarang sudah mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha. Beliau sekarang termasuk golongan Buddha. Apakah pantas bila aku datang menemuinya? Beliau pasti tidak dan juga tidak mungkin membutuhkanku lagi. Karena itu, apakah pantas kalau aku sekarang datang menemuinya? Aku rasa, lebih baik aku tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi. Kalau Beliau datang menemuiku, aku akan memberi Beliau penghormatan yang layak.”
Setelah berbicara dengan para pengunjung-Nya untuk beberapa waktu lamanya, Sang Buddha bertanya, “Di manakah Yasodhara?”
Raja Suddhodana menjawab, “Oh, Yasodhara ada di kamarnya.”
“Kalau begtu, marilah kita pergi menjenguknya.” kata Sang Buddha.
Sang Buddha menyerahkan mangkuk-Nya kepada Raja Suddhodana dan berjalan di muka menuju kamar Putri Yasodhara. Waktu tiba di depan kamar, Sang Buddha berpesan kepada ayah-Nya, “Biarkan saja Yasodhara memberi hormat kepada-Ku sebagaimana yang dikehendaki. Jangan berkata apa-apa atau melarangnya.”
Waktu Putri Yasodhara diberi kabar tentang kedatangan Sang Buddha, Putri segera memerintahkan semua pelayannya memakai baju kuning untuk memberi hormat selamat datang kepada Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha memasuki kamar, dengan cepat Putri Yasodhara menyambutnya sambil berlutut dan memegang kaki Sang Buddha. Kemudian Putri Yasodhara melepaskan rasa rindunya dengan meletakkan kepalanya di atas kaki Sang Buddha dan menangis tersedu-sedu sehingga Sang Buddha basah dengan air mata.
Sang Buddha berdiri diam saja dan dengan batin yang waspada memancarkan gaya-gaya kasih sayang dan belas kasih kepada Putri yang sedang menangis memegang kaki-Nya. Setelah lewat beberapa waktu, Putri yang sedang menangis, membersihkan kaki Sang Buddha yang basah dengan air mata untuk kemudian dengan hormat mempersilakan Sang Buddha dan Raja Suddhodana mengambil tempat duduk masing-masing yang sudah disediakan. Setelah Putri sendiri juga mengambil tempat duduk, Raja Suddhodana berkata kepada Sang Buddha,
“Yang Maha Bijaksana, waktu Putri mendengar bahwa anakku memakai jubah kuning, Putri pun memakai baju kuning. Waktu mendengar bahwa anakku makan hanya satu kali sehari, Putri pun makan hanya satu kali sehari. Waktu mendengar bahwa anakku tidak tidur di dipan yang tinggi dan mewah, Putri pun tidur di atas dipan yang rendah dan sederhana. Waktu Putri mendengar bahwa anakku tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian, Putri pun tidak lagi memakainya. Waktu keluarganya mengirim pesan bahwa mereka bersedia menanggung semua keperluan hidupnya, Putri tidak menggubrisnya sama sekali. Sungguh bijak menantuku Yasodhara ini.”
Sang Buddha menjawab,
“Bukan di kehidupan ini saja, oh Baginda, juga dalam kehidupan-kehidupan yang lampau Yasodhara selalu melindungi, berbakti, dan setia kepada-Ku.”
Kemudian Sang Buddha menceritakan Candakinnara Jataka, yaitu kisah tentang kehidupan-Nya yang lampau bersama-sama Yasodhara, seperti di bawah ini :
“Dalam salah satu kehidupan yang lampau, Sang Bodhisatta dilahirkan sebagai seekor Kinnara (burung dengan kepala manusia) bernama Canda, yang hidup di Gunung Himava dengan istrinya yang bernama Candā.
Pada Suatu hari mereka sedang bersuka ria di dekat sungai kecil dengan bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Pada waktu itu Raja Benares sedang berburu di hutan dan melihat Candā sedang bernyanyi dan menari. Seketika itu Raja jatuh cinta kepadanya. Raja memanah Canda dan matilah Canda. Istrinya, Candā, memeluk mayat suaminya dan menangis tersedu-sedu. Raja Benares datang menghibur dengan mengatakan, “Engkau tak usah bersedih atas kematian suamimu. Aku mempersembahkan segenap cintaku dan seluruh isi kerajaanku, apabila engkau bersedia menjadi permaisuriku.”
Candā tidak menghiraukan hiburan Raja Benares dan terus meratap dan menangis sambil memprotes kepada para Dewata Agung yang membiarkan suaminya mati dibunuh orang.
Demikian keras protes Candā, sehingga menggerakkan hati Raja Dewa Sakka. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Dewa Sakka turun ke dunia dan menghidupkan kembali Canda. Canda ialah yang sekarang dilahirkan sebagai Pangeran Siddhattha dan Candā ialah Putri Yasodhara.
Hari itu Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Sakadagami dan Putri Yasodhara menjadi seorang Sotapanna.
Di buku-buku suci Ti Pitaka (lihat D.P.N hal 741), Yasodhara sewaktu-waktu disebut sebagai Rahulamata, Bhaddakaccana, Bimbadevi, Bimbasundari, dan Bimba.
Agama Buddha aliran Utara lebih menyukai nama Yasodhara, tetapi sering juga menyebutnya sebagai Bimba, Bhaddakacca dan Subhaddaka, dan dianggap sebagai Putri dari Dandapani.