Jadwal Sehari-hari Sang Buddha

Kegiatan Sang Buddha tiap hari adalah sebagai berikut:

Pagi hari (pukul 04.00 – pukul 12.00

Sang Buddha bangun pukul 04.00 pagi, setelah mandi lantas duduk bermeditasi selama satu jam. Dari pukul 05.00 pagi, selama satu jam, Sang Buddha melihat dengan mata dewa ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau.

Pukul 06.00 pagi memakai jubah-Nya dan pergi ke desa atau kota untuk mengumpulkan makanan atau pergi mengunjungi orang yang memerlukan pertolongan Beliau.

Tiba di desa atau kota, Sang Buddha berjalan dari rumah ke rumah dengan mata ditujukan ke tanah dan menerima makanan apa saja yang dimasukkan ke dalam mangkuk-Nya dengan tidak mengucapkan sesuatu kata pun. Kalau pergi bersama-sama dengan murid-Nya, mereka merupakan barisan yang panjang karena berjalan satu per satu. Pada waktu Sang Buddha menerima juga undangan makan di rumah seorang umat. Sehabis bersantap, Beliau selalu memberikan khotbah Dhamma. Kalau ada orang yang minta diterima sebagai murid/pengikut, maka Beliau mentahbiskannya di tempat tersebut.

Siang hari (pukul 12.00 – pukul 18.00)

Waktu ini biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Sang Buddha menjawab semua pertanyaan dengan disertai nasehat dan petunjuk mengenai meditasi. Kalau mereka pulang, maka Sang Buddha beristirahat di kamar-Nya dan dengan mata dewa melihat ke seluruh dunia, barangkali ada orang yang memerlukan pertolongan-Nya. Kalau Beliau melihat ada yang memerlukan pertolongan, maka Beliau segera mengunjunginya.

Kalau hari itu tidak ada orang yang memerlukan pertolongan Beliau, maka Beliau keluar dari kamar untuk bertemu dengan ratusan orang yang berkumpul di ruang khotbah (Dhammasala).

Di Dhammasala, Sang Buddha memberikan khotbah dengan cara yang khas, sehingga tiap orang merasa bahwa khotbah itu ditujukan kepada dirinya. Dengan demikian Sang Buddha memberikan kegembiraan kepada orang yang bijaksana, mempertinggi pengetahuan orang biasa dan memberi penerangan kepada orang yang sedang dihinggapi kegelapan batin.

Waktu jaga pertama (pukul 18.00-pukul 22.00)

Waktu ini para bhikkhu kembali datang untuk mendengar khotbah Dhamma atau untuk bertanya tentang hal-hal yang masih mereka ragukan. Selain para bhikkhu juga umat biasa banyak yang datang menemui Sang Buddha.

Waktu jaga kedua (pukul 22.00-pukul 02.00)

Para dewa datang untuk mendengarkan Dhamma yang khusus ditujukan kepada mereka. Mereka tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

Waktu jaga ketiga (pukul 02.00-pukul 04.00)

Dari pukul 02.00 sampai pukul 03.00, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di luar kamar (melakukan meditasi berjalan) sambil menghirup udara pagi. Pukul 03.00 pagi, Sang Buddha tidur selama satu jam dan bangun pada pukul 04.00 pagi.

Empat Puluh Lima Tahun Mengajar Dhamma

Tahun ke-1


Setelah memperoleh Penerangan Agung, Sang Buddha menjalankan vassa (istirahat musim hujan) di Isipatana.


Tahun ke-2


Sang Buddha menjalankan vassa di Veluvana, Rajagaha.


Tahun ke-3


Atas permintaan Raja Suddhodana, Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu. Di Nigrodharama, untuk pertama kalinya Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya yang disebut Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan keluarganya dan orang Sakya lain bahwa Beliau memang benar telah mencapai tingkat Buddha.
Dalam perjalanan kembali dari Kapilavatthu ke Rajagaha, Sang Buddha bertemu dengan Anathapindika dan menyetujui untuk menjalankan vassa yang akan datang di Savatthi.


Tahun ke-4


Sang Buddha ber-vassa di Veluvana, Rajagaha.


Tahun ke-5


Sang Buddha ber-vassa di Kutagarasala, Vesali. Waktu itu Raja Suddhodana sakit. Sang Buddha mengunjungi Raja di Kapilavatthu dan memberikan khotbah Dhamma kepada ayah-Nya, setelah mendengar khotbah tersebut, Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat dan meninggal dunia tujuh hari kemudian.
Sangha bhikkhuni di bawah pimpinan Maha Pajapatl terbentuk di tahun ini.


Tahun ke-6


Ber-vassa di Mankulapabbata (Lereng Mankula). Di tahun ini, untuk kedua kalinya Sang Buddha memperlihatkan Yamakapatihariya, yaitu Mukjizat Ganda di bawah pohon Gandamba di Savatthi, meskipun sebelumnya Beliau melarang murid-muridNya untuk memperlihatkan kekuatan gaib di depan umum. Hanya Beliau yang boleh memperlihatkan kekuatan gaib di depan umum, tetapi murid-muridNya dilarang melakukan hal-¬hal tersebut.


Tahun ke-7


Sang Buddha mengunjungi surga Tavatimsa. Ibu-Nya, almarhum Ratu Maya, bersama para dewa lainnya diberi pelajaran Abhidhamma, selama tiga bulan Sang Buddha ber-vassa di surga tersebut.
Akhir vassa, Beliau berjalan turun dari surga Tavatimsa melalui tangga yang terbuat dari batu pualam, di Sankassa, tiga puluh "league" dari Savatthi. Waktu itu orang yang berkumpul di sekitar Savatthi dan para dewa yang berada di surga Tavatimsa dapat melihat satu sama lain dengan jelas, berkat kekuatan gaib Sang Buddha.
Waktu itu kemasyhuran Sang Buddha mencapai titik tertinggi dan waktu itu pula golongan pertapa yang merasa terdesak hebat, berusaha untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan wanita yang bernama Cinca-manavika dan kemudian wanita yang bernama Sundari, yang melancarkan fitnahan keji terhadap diri Sang Buddha. Kisahnya dapat dibaca di posting berjudul “Cinca-manavika”.


Tahun ke-8


Tahun ini Beliau berada di wilayah kaum Bhagga. Ketika diam di Bhesakalavana dekat Gunung Sumsumara, Sang Buddha bertemu dengan Nakulapita dan istrinya, yang di kehidupan lampau pernah menjadi ayah dan ibu-Nya sampai lima ratus kali.


Tahun ke-9


Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Kosambi.


Tahun ke-10


Di tahun ini terjadi perselisihan diantara para bhikkhu di Kosambi. Karena letih menghadapi perselisihan yang tak mau didamaikan, Sang Buddha ber-vassa di hutan Parileyyaka. Di hutan, Sang Buddha dijaga dan dilayani oleh seekor gajah yang baik hati. Sehabis vassa, Sang Buddha pergi ke Savatthi. Ketika itu para bhikkhu di Kosambi sudah insyaf dan datang mengunjungi Sang Buddha untuk minta maaf. Mereka semua dimaafkan dan dengan demikian perselisihan itu didamaikan.


Tahun ke-11


Tabun ini Sang Buddha diam di Desa Ekanala dan mentahbiskan Kasi-bharadvaja. Kisahnya ini adalah sebagai berikut (S.I-171):
Sang Buddha mengunjungi Bharadvaja pada upacara menanam padi dan berdiri di dekat tempat pembagian makanan para petani yang ikut menanam padi. Melihat Sang Buddha, Bharadvaja menegur agar Sang Buddha pun harus ikut membajak dan menanam padi, sebagaimana is sendiri juga turut bekerja untuk dapat makan hasilnya. Percakapan yang menarik itu dapat kita ikuti seperti di bawah ini (S.I-171):
"Pertapa, aku membajak dan menanam bibit. Setelah bekerja, aku makan. Apakah Anda juga membajak dan menanam bibit dan setelah membajak dan menanam bibit lalu makan?"
"Betul, Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bibit, Aku makan."
"Tetapi kami tidak pernah melihat regu Guru Gotama, bajaknya, pengunjam bajak, cambuk atau sapinya. Meskipun demikian Guru Gotama masih berani mengatakan bahwa, `Aku juga membajak dan menanam bibit, dan setelah membajak dan menanam bibit Aku makan'."
Sang Buddha menjawab,
"Keyakinan adalah bibit-Ku dan hujan adalah tata tertib-Ku.
Pandangan terang adalah bajak-Ku disertai kayu lengkung yang sesuai.
Tahu malu (hiri) adalah tiang bajak-Ku dan pikiran adalah talinya.
Pemusatan pikiran adalah pengunjam bajak-Ku dan cambuk-Ku.
Waspada dalam perbuatan, waspada dalam ucapan.
Dan sederhana dalam makan dan minum.
Aku mencabut rumput dengan Kesunyataan dan menyelesaikan tugas,
Adalah apa yang Aku selalu dambakan.
Kemauan keras adalah regu penopang beban-Ku,
Yang menarik bajak-Ku menuju pelabuhan yang aman,
Selalu maju dan tak pernah mundur.
Dan di tempat yang dilalui tak akan ada lagi yang menangis.
Itulah cara-Ku membajak.
Buah yang akan dipetik adalah makanan abadi.
Siapa saja yang melaksanakan cara membajak seperti ini,
Akan terbebas dari penderitaan dan kesedihan."
Bharadvaja merasa gembira sekali dan segera menghaturkan sebuah mangkuk besar berisi nasi campur susu.
Tetapi Sang Buddha menolak pemberian tersebut dengan mengatakan bahwa seorang Buddha tidak pernah menerima imbalan untuk berkhotbah. Atas saran Sang Buddha, Bharadvaja membuang makanan tersebut ke sungai karena tidak ada orang yang dapat mencernakan makanan yang pernah dipersembahkan kepada Sang Buddha.
Ketika makanan itu menyentuh air sungai, terdengar suara gemercak dan api serta asap terlihat di atas air. Bharadvaja menjadi kagum sekali dan sambil herlutut di kaki Sang Buddha menyatakan dirinya sebagai pengikut Sang Buddha untuk seumur hidup. Tidak lama kemudian, ia menjadi bhikkhu dan berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat.


Tahun ke-12


Ber-vassa di Veranja atas permohonan seorang Brahmana bernama Veranja. Ketika itu berjangkit kekurangan makanan di tempat tersebut, sehingga Sang Buddha dan rombongan-Nya harus makan makanan yang disediakan oleh lima ratus orang pedagang kuda. Moggallana menawarkan diri untuk menyediakan makanan yang layak dengan menggunakan kekuatan gaib, tetapi ditolak oleh Sang Buddha.


Tahun ke-13


Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata dan dilayani oleh seorang bhikkhu bernama Meghiya.
Melihat sebidang kebun mangga di dekat sungai, Meghiya merasa tertarik sekali dan mohon izin dari Sang Buddha untuk bermeditasi di tempat tersebut.
Sang Buddha minta ia menunggu kedatangan seorang bhikkhu lain, tetapi karena terus didesak akhirnya Sang Buddha membcri izin juga.
Meghiya pergi bermeditasi sendiri di kebun mangga, tetapi tidak lama kemudian ia dihinggapi oleh pikiran penuh hawa nafsu, kemauan tidak baik dan jahat, sehingga dengan sangat kecewa ia kembali menemui Sang Buddha.
Ketika itu Sang Buddha memberi ia nasehat seperti berikut:
Meghiya, untuk membebaskan pikiran yang belum matang diperlukan lima hal yang berguna sekali untuk membuat ia matang:
1. Seorang sahabat baik (kalyana mitta).
2. Tingkah laku yang baik dibimbing oleh sila-sila yang penting sebagai latihan.
3. Nasehat yang baik yang menuju kepada pengekangan hawa nafsu, ketenangan, pembebasan, Penerangan Agung, dan Nibbana.
4. Daya upaya untuk menyingkirkan pikiran yang tidak baik dan memperoleh pikiran yang baik.
5. Memperoleh pandangan terang tentang timbul dan lenyapnya kembali benda-benda.


Tahun ke-14


Sang Buddha ber-vassa di Jetavanarama, Savatthi. Di tempat ini Rahula memperoleh upasampada dan menjadi bhikkhu. Menurut Vinaya, seseorang hanya diperkenankan menjadi bhikkhu apabila telah mencapai usia dua puluh tahun dan Rahula pada waktu itu telah mencapai usia tersebut.


Tahun ke-15


Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu dan tahun itu bekas mertuanya, Suppabuddha meninggal dunia. Dalam keadaan mabuk, Suppabuddha tidak mengizinkan Sang Buddha berjalan di jalanan Kapilavatthu, sebab ia masih mempunyai perasaan dendam bahwa Sang Buddha telah menyia-nyiakan kehidupan anaknya, Yasodhara.


Tahun ke-16


Kejadian penting selama Sang Buddha diam di Alavi di tahun ini adalah penaklukan dari yakkha Alavaka yang menteror kota Alavi. Kisahnya adalah sebagai berikut (SN.I-10):
Ketika itu yakkha Alavaka menghampiri Sang Buddha dan membentak, "Pergilah, oh Pertapa!"
Sang Buddha berjalan pergi dan berkata, "Baiklah, sahabat."
Yakkha Alavaka kembali membentak, "Masuklah, oh Pertapa."
Sang Buddha lalu masuk dan menjawab, "Baiklah, sahabat."
Untuk kedua kalinya yakkha Alavaka berkata, "Pergilah, oh Pertapa!"
Sang Buddha berjalan pergi dan berkata, "Baiklah, sahabat."
"Masuklah, oh Pertapa!"
Sang Buddha masuk sambil menjawab, "Baiklah, sahabat."
Untuk ketiga kalinya yakkha Alavaka berkata, "Pergilah, oh Pertapa!"
Sang Buddha berjalan pergi sambil berkata, "Baiklah, sahabat."
"Masuklah, oh Pertapa!"
Sang Buddha masuk kembali sambil berkata, "Baiklah, sahabat."
Untuk keempat kalinya yakkha Alavaka berkata, "Pergilah, oh Pertapa!"
Sang Buddha menjawab, "Aku tidak akan pergi, engkau boleh berbuat apa yang engkau kehendaki."
"Akan kuajukan sebuah pertanyaan, Pertapa. Apabila Anda tidak dapat menjawab pertanyaanku, akan kukacaukan pikiranmu atau kucabut jantungmu atau akan kupegang kakimu dan kulemparkan ke seberang sungai."
"Sahabat, Aku tidak melihat suatu makhluk pun di dunia ini, termasuk para Mara, para Brahma atau di dunia ini dari para pertapa, para Brahmana, dan para dewa, dan para manusia yang sanggup mengacaukan pikiran-Ku atau mencabut jantung-Ku atau memegang kaki-Ku dan melempar Aku ke sebetang sungai. Tetapi sahabat, engkau dapat mengajukan pertanyaan apa saja yang engkau kehendaki."
Yakkha tersebut kemudian bertanya,
"Apakah harta termulia bagi seorang manusia dalam dunia ini?
Perbuatan manakah yang membawa kebahagiaan? Apakah yang paling manis dari semua rasa?
Cara hidup bagaimanakah yang disebut termulia?"
Sang Buddha menjawab,
"KEYAKINAN merupakan harta termulia bagi manusia dalam dunia ini.
DHAMMA, jika ditaati dengan sungguh-sungguh akan membawa kebahagiaan.
KESUNYATAAN adalah yang paling manis dari semua rasa. Hidup dengan diberkahi KEBIJAKSANAAN disebut hidup yang termulia."
Yakkha bertanya lagi,
"Bagaimanakah orang menyeberangi arus (penjelmaan)? Bagaimanakah orang menyeberangi lautan (tumimbal lahir)? Bagaimanakah orang mengatasi derita?
Bagaimanakah orang menyucikan diri?"
Sang Buddha mcnjawab,
"Orang menyeberangi arus dengan Keyakinan.
Orang menyeberangi lautan dengan Kewaspadaan.
Orang mengatasi derita dengan Keuletan
Orang menyucikan dirinya dengan Kebijaksanaan."
Yakkha bertanya lagi,
"Bagaimanakah orang mencapai Kebijaksanaan? Bagaimanakah orang memperoleh Kekayaan? Bagaimanakah orang memperoleh Kemasyhuran? Bagaimanakah orang mengikat sahabat-sahabat?
Setelah meninggalkan alam sini, tiba di alam sana (setelah mati), bagaimanakah orang tidak usah menyesal?"
Sang Buddha menjawab,
"Memiliki keyakinan kepada para Arahat dan Dhamma untuk mencapai Nibbana,
Dan dengan pengendalian diri orang yang rajin, tekun, dan penuh perhatian memperoleh Kebijaksanaan.
Barang siapa berbuat apa yang benar,
Barang siapa bertekad teguh, sadar,
Ia memperoleh Kekayaan.
Kemasyhuran diperoleh dengan mencintai hal-hal yang benar (sacca).
Barang siapa suka memberi akan mengikat Sahabat-sahabat. Orang berkeluarga yang memiliki sifat-sifat: mencintai hal-¬hal yang benar, pengendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawanan, tidak akan menyesal setelah mati.
Ayolah! Tanyakan kepada para pertapa lain dan para Brahmana.
Apakah ada watak lain yang lebih agung dari mencintai hal-hal yang benar, pengendalian diri, kesabaran/dapat memaafkan kesalahan orang lain dan kedermawanan?"
Yakkha menjawab,
"Mengapa aku harus bertanya kepada para pertapa dan Brahmana lain? Hari ini aku merasa beruntung dapat mengetahui sesuatu untuk kebaikan diriku di kemudian hari.
Mulai hari ini aku akan berkelana dari desa ke desa, dari kota ke kota untuk menghormat kepada Yang Maha Suci Buddha dan kepada Dhamma Yang Maha Sempurna."


Tahun ke-17


Tahun ini Sang Buddha berada di Savatthi, tetapi mengunjungi Alavi lagi karena merasa kasihan kepada seorang petani miskin, yang kemudian menjadi seorang Sotapanna setelah mendengar khotbah Sang Buddha.
Juga di tahun ini seorang pelacur terkenal bernama Sirima, kakak dari tabib Jivaka, meninggal dunia. Sang Buddha menghadiri pemakaman Sirima.
Ketika itu Sang Buddha minta kepada Raja untuk mengumumkan siapa diantara yang hadir ingin membeli mayat dari Sirima, sebab ketika hidupnya banyak laki-laki yang tertarik dan mengagumi Sirima.
Ternyata tidak seorang pun yang mau membelinya, bahkan diberi dengan cuma-cuma juga mereka tidak sudi.
Pada kesempatan itulah Sang Buddha memberikan penerangan kepada khalayak ramai dengan mengucapkan syair seperti berikut:
"Lihatlah lukisan ini yang berupa khayalan,
Badan yang penuh dengan luka, dirangkai menjadi satu,
Tempat tumpukan penyakit, tempat timbunan pikiran,
Dimana tak terdapat kekekalan dan kelanggengan."
(Dhammapada, 147)
Sang Buddha kemudian bervassa di Veluvanarama,Rajagaha.


Tahun ke-18


Di tahun ini Sang Buddha kembali mengunjungi Alavi untuk kepentingan anak perempuan seorang penenun. Tiga tahun yang lampau gadis ini mendengar khotbah Sang Buddha tentang pentingnya bermeditasi terhadap kematian. Dalam pertemuan tersebut, Sang Buddha mengajukan pertanyaan kepada gadis tersebut dan semua pertanyaan dapat dijawabnya dengan baik. Jawabannya mengandung arti filsafat tinggi, sehingga para hadirin yang lain, yang tidak memperhatikan khotbah Sang Buddha dengan baik, tidak dapat mengerti jawaban gadis tersebut. Waktu itu Sang Buddha memujinya dengan mengucapkan syair seperti berikut:
"Dunia ini diselubungi kegelapan,
Hanya sedikit saja yang dapat melihatnya dengan terang,
Seperti juga burung yang ingin melepaskan diri dari jaring,
Hanya sedikit saja yang pergi ke alam bahagia."
(Dhammapada, 174)


Ketika Sang Buddha mendengar bahwa gadis itu sakit keras, maka dengan melakukan perjalanan sejauh tiga puluh "league" (1 league = 4.800 atau 5.564 m), Sang Buddha berkunjung ke rumahnya dan masih sempat memberikan uraian Dhamma, sehingga waktu meninggal dunia, gadis itu mencapai Sotapatti phala.
Tahun ini Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata.


Tahun ke-19


Sang Buddha ber-vassa di Calikapabbata.


Tahun ke-20


Di tahun ini Ananda ditunjuk sebagai pembantu tetap Sang Buddha dan selama dua puluh lima tahun Ananda menjadi pembantu tetap, yaitu sampai saat Sang Buddha mangkat di Kusinara.
Di tahun ini pula Sang Buddha menaklukkan seorang penyamun ganas bernama Argulimala. Kisahnya dapat dibaca di posting berjudul “Angulimala”. Tahun itu Sang Buddha ber-vassa di Veluvanarama, Rajagaha.


Tahun ke-21 sampai dengan tahun ke-44


Selama tahun-tahun tersebut di atas, tidak dapat dipastikan secara berurutan, tempat-tempat mana yang telah dikunjungi oleh Sang Buddha dan di mana Sang Buddha ber-vassa.
Tetapi dapat diketahui bahwa delapan belas vassa dijalankan di Jetavanarama dan lima vassa di Pubbarama, Savatthi, sedangkan vassa ke-44 dijalankan di Beluva, sebuah desa kecil yang mungkin terletak di dekat Vesali.
Satu hari pasti yang dapat ditemukan dalam sutta-sutta ialah tentang mangkatnya Raja Bimbisara, delapan tahun sebelum Sang Buddha sendiri mencapai Parinibbana. Ketika itulah Devadatta dengan paksa ingin mengambil-alih pimpinan Sangha dari Sang Buddha. Kisahnya dapat dibaca di posting berjudul “Devadatta”.


Tahun ke-45


Di tahun ini Sang Buddha mangkat dan mencapai Parinibbana di Kusinara pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak (Mei) sebelum waktu ber-vassa.

Anattalakkhana Sutta

Singkatan dari khotbah ini adalah sebagai berikut :

Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Sanna (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Vinnana (kesadaran) adalah Lima Khandha (lima kelompok kehidupan/ kegemaran) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh). Kalau sekiranya Khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’

Tetapi karena khandha itu Anatta (tanpa roh), maka ia tidak dapat berubah sekehendak hatinya dan karena itu menderita, sebab semua kehendak dan keinginannya tidak dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’

Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima Khandha tersebut dengan melakukan perenungan sebagai berikut :

“Karena kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, maka lima Khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (kelompok Kehidupan/ Kegemaran) semata-mata.

Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah ‘milikmu’ atau ‘kamu’ atau ‘dirimu’.

Siswa Yang Ariya yang mendengarkan uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan marasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu.

Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu, maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperolah Penerangan Agung.”

Dhammacakkappavattana Sutta

Di bawah ini diuraikan singkatan dari khotbah tersebut.

Dua pinggiran yang ekstrim, oh Bhikkhu, yang harus dihindari oleh seorang bhikkhu. Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar nafsu-nafsu yang bersifat rendah, hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada hal-hal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah.

Pinggiran ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, tidak mulia dan tidak berfaedah.

Jalan Tengah dengan menghindari kedua pinggiran yang ekstrim telah kuselami, sehingga memperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan Agung, dan Nibbana.

Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha : dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai dan tidak memperoleh sesuatu yang didambakan.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa Lima Khanda (Lima Kelompok Kehidupan/ Kegemaran) itu adalah penderitaan.

Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha : nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada kenikmatan dan nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati nafsu-nafsu indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk memusnahkan diri.

Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha : nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh dapat disingkirkan, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan.

Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha : Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Selama pandangan-Ku terhadap Kesunyataan Mulia yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua belas jalannya, Aku belum dapat menuntut dan menyatakan dengan pasti bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa, mara, brahma, pertapa, brahmana dan manusia.

Dengan demikian timbul dalam diri-Ku Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa Aku sekarang telah terbebas sama sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dunia ini dan kehidupan-Ku yang sekarang ini merupakan kehidupan-Ku yang terakhir.”